Cast:
Cho Kyuhyun
Kang Minji
Etc
.
Genre:
Drama
Hurt
.
Rate:
Teenage
.
.
I fleed away leaving you, through
the good words that I don’t like
.
.
"Kita putus."
Singkat, tapi berhasil
mengubur senyum yang mengembang pada lelaki itu. Menatap bertanya gadis manis
di hadapan, merasa tak sanggup untuk sekadar berucap kenapa.
Lalu pemilik mata seindah
bulan sabit berbalik, meninggalkan –mantan- kekasih yang mematung di tempat. Belum cukup percaya dengan
apa yang diucapkan gadisnya.
Dan setelah kesadarannya
kembali, dengan cepat kaki itu melangkah, mencoba menahan. Tapi semuanya tiba-tiba
menjadi putih. Tempat mereka bertemu tiba-tiba menghilang,
gadis yang meninggalkannya pergi entah kemana.
"Minji!!"
Ia berteriak, keras sekali.
Tapi suaranya memantul, seolah ia berada di sebuah ruang tanpa jalan keluar.
Sesuatu terasa mencekat di
tenggorokan, matanya memanas. Pikirannya kacau hanya untuk memikirkan
keberadaan gadis itu.
"Kang Minji!!!"
Dua kata yang berputar di
kepala, semakin cepat sampai rasanya menyakitkan. Kemudian matanya terbuka,
merasa tubuh telentang di atas kasur dengan wajah berkeringat. Memaksa bangun
ketika otak masih bekerja lambat untuk mengatakan ini nyata.
"Argh.."
Sakit di dada yang sudah
seperti ucapan selamat pagi, entah sejak kapan ia mengidap penyakit kronis.
Dokter bilang fisik dan mentalnya masih sehat, hanya terlalu banyak pikiran
yang menjadi beban.
Alasan itu pula yang menjadi pengganggu kesehatan jantungnya. Ia
merasa benda itu tak lagi berfungsi dengan baik, sejak tiga tahun lalu. Setelah
mengalami hari terburuk lalu dihantui mimpi yang sama setiap malam. Mengulang
kejadian yang seharusnya ia lupa, menjadi memori pahit yang malah tersimpan dengan baik.
Lalu tanpa ragu sudut bibirnya terangkat, hanya di satu sisi.
"Tujuh Juli."
Itu hari ini, tak terlihat
perubahan yang signifikan. Ia masih sama, rasa itu masih seperti ketika
berbunga, dan sakit itu masih seperti tujuh Juli hari itu. Hanya angka masehi
yang bertambah, dan umur yang mendewasa. Yang seharusnya sudah cukup jengkel
dengan kesakitan yang terus menginvasi dalam dada.
Bosan meratapi kesedihan
diri, tubuhnya memilih bangkit. Menyibak bed
cover dan melangkah menuju kamar mandi. Tak begitu terkejut melihat tiket pesanannya di meja nakas.
Ia hanya perlu melewati hari
ini seperti biasa.
.
.
Tak banyak bicara adalah
rutinitas yang ditampilkan Kyuhyun, melupakan tradisi makan sebagai tempat
terbaik berkumpul keluarga. Bahkan melihatnya sekadar duduk di meja makan
adalah keajaiban yang diamini ibunya setiap saat.
"Kau ke kampus hari
ini, sayang?"
"Nde."
Menjawab dengan mulut
melahap sandwich secepat yang ia bisa,
Kyuhyun tak sepenuhnya berubah. Hanya menjadi irit bicara, dan wajah stoic yang terlalu menakutkan untuk
sekadar ditanyai kabar.
"Pesawatmu berangkat
besok kan, Kyu?" kali ini sang kakak yang bertanya, mendapat anggukan
singkat dari lelaki itu. Tak begitu tertarik untuk berinteraksi.
"Aku akan pulang
sebelum makan malam."
Kemudian tubuhnya bangkit,
membuat dua wanita dan satu pria yang ditinggalkan hanya sanggup menghela
nafas. Merasa ceria sudah tak ada lagi pada Kyuhyun mereka.
.
.
"Kyuhyun sunbae~"
Panggilan itu
menarik perhatiannya, membuat Kyuhyun spontan menghentikan langkah. Melihat dengan jelas
seorang wanita mendekat, yang ia sangat kenal lari bersemangat itu. Tapi tak cukup yakin, jadi hanya diam dan menunggu orang itu sampai.
"Ini.. aku memberimu
surat.." tangannya malu-malu menyodorkan amplop pink, dan ingatan Kyuhyun merekam dengan jelas tingkah itu. Tapi
Kyuhyun yakin ia tidak sedang berhadapan dengan siapa yang ia ingat.
"Nugu-yo?" lalu
terkejut bukan main ketika wanita itu mendongak menatapnya. Wanita itu gadis di mimpi Kyuhyun setiap malam, tiga tahun
berturut-turut.
"Aku.., Soojung, dari
Fakultas Seni." yang membuat Kyuhyun seketika mengernyit, nama itu bukan milik orang yang kini menatapnya dengan mata sipit.
"Kyuhyun sunbae,
anneyong hasseyo~" beberapa wanita berlalu menegur dan, ya ampun, kenapa semua orang berwajah sama dengan gadis di
dalam mimpinya?
Bahkan wanita dengan pakaian
ketat dan ahjumma penyapu halaman, memasang wajah cemberut persis seperti yang
diingat Kyuhyun.
"Kyuhyun sunbae,"
dan wanita dengan rambut tergerai itu mengerjapkan mata sipit yang begitu
dikenal Kyuhyun, membuatnya linglung. Wajah semua orang sama hari ini, atau ia
yang sedang berhalusinasi?
Hap!
Sebuah tangan melingkar di
pundak Kyuhyun, cukup membuat terkejut sebelum menoleh. Merasa akhirnya ada
wajah selain milik gadis dalam mimpinya.
"Gomawo. Sunbaemu ini
akan membacanya dengan baik."
Masih dengan tangan yang
merangkul lancang pundak Kyuhyun, lelaki di sampingnya kini meraih surat dan
tersenyum sampai wanita di depan mereka pergi. Kyuhyun memperhatikan perempuan
itu, yang wajahnya sudah lain. Orang-orang juga sudah memiliki wajah mereka
sendiri, tak lagi sama seperti yang Kyuhyun lihat sebelumnya.
"Melihatnya lagi?"
dan lelaki dengan gummy di sampingnya
bertanya sok tahu, seolah bukan hal mengejutkan lagi melihat Kyuhyun linglung
seperti orang bodoh.
"Ck, tidak bisakah kau
melupakannya? Ini sudah tiga tahun, dia pasti sudah bahagia tanpa
memikirkanmu."
Kalimat yang membuat Kyuhyun
menepis lengan itu kasar, tak begitu peduli saat Lee pemilik tubuh kering itu
membuka surat -yang seharusnya- miliknya.
"Yaaak..!"
berteriak tiba-tiba di tengah bacaan surat.
"Lihat kepopuleranmu,
Kyuhyun-ah! Wanita ini mengajakmu makam malam! Ayo terima! Ajak aku juga! Aku
akan tutup mulut tentang hubungan kalian!"
Berteriak antusias seolah ia
yang mendapat surat. Dan apa tadi, menutup mulut? Tidak seperti Kyuhyun
bernafsu untuk mengencani wanita di kampus mereka.
"Kau melihat Profesor
Jung?"
Lagipula bukan tanpa tujuan
Kyuhyun datang, gelar sarjana di semester enam-nya membuat Profesor enam puluh
tahun itu antusias mencarikan beasiswa. Dan jadilah, Kyuhyun harus memberi
salam perpisahan yang baik pada yang sudah seperti ayah kedua baginya.
"Mwoya, untuk apa kau
bertemu harabeoji itu?" dan bagi Lee pemilik gummy smile, dosen yang menyerupai ayahnya adalah Appa-nya, dan
yang sudah menjadi kakek adalah harabeoji-nya.
"Dia tidak akan datang,
ini masih terlalu pagi untuk tubuh rentanya." lalu seketika teringat pesan
singkat Lee Donghae.
"Ah! Bagaimana kalau
menghadiri reuni? Ku dengar dari Donghae, Siwon yang kaya itu akan datang untuk
mentraktir. Pasti-"
"Aku sibuk."
Kalimat yang meluncur bebas
dari Kyuhyun, melenggang memasuki kampus tanpa peduli teriakan para wanita yang
melihatnya, juga seruan Lee Hyukjae di belakang.
Sudah terlampau sering ia
mengalami situasi seperti ini, hanya berharap Jerman cukup baik untuk tidak
membuatnya menjadi pusat perhatian.
Ia kan bukan artis, tentu
saja.
.
.
Awalnya Kyuhyun mengumpat
pada Eunhyuk, berteriak di depan ponsel karena lelaki itu terus menelpon.
Mengatakan kalau ia harus cepat-cepat ke datang untuk berkumpul dengan teman
masa sekolah mereka.
Lalu kini, selain mengaduk
acak ramen dan membiarkan tawa yang lain memenuhi penjuru ruang, hal yang bisa
Kyuhyun lakukan hanyalah menunduk.
Tak cukup berani untuk
beradu pandang dengan satu-satunya gadis di antara mereka. Di samping Choi
Siwon, yang sesekali menoleh untuk sekadar melihat gadis itu tertawa.
"Yak, ayo kita lomba!
Yang paling cepat menghabiskan ramen akan dapat jatah makan siang dari Choi
Siwon seminggu penuh!"
Itu suara Shindong, seketika
mendapat sorak antusias dari penghuni meja mereka. Tentu saja gadis disana ikut
bersorak kecil, menatap senang Siwon seolah meminta lelaki itu mengikuti lomba
seperti yang lain.
"Kau juga ikut,
Siwon-ah!" suara Leeteuk yang meredam kebisingan, dan gadis di sampingnya
mengangguk atas usulan itu.
"Mana mungkin, aku yang
akan memberi kalian makan disini." dan membayangkan ia memenangkan lomba
lalu mentraktir diri sendiri, rasanya sedikit aneh.
"Ah~ ayolah, oppa~
lakukan untukku~" gadis di sebelahnya memelas, tak cukup membuat Siwon
sanggup menolak. Padahal, mau dikemanakan wajah tampannya jika mengiyakan lomba
konyol itu.
"Minji benar, Siwon-ah.
Kau menggantikannya, nanti kalau kau menang kau bisa mengajaknya makan siang
setiap hari." meski tidak memenangkan lomba apapun Siwon sudah melakukan
itu sejak lama, dan little puppy di
sampingnya kini benar-benar membuat Siwon tidak tahan.
"Baiklah." dan
mendapat sorak gembira yang berlebihan, Siwon tersenyum sebelum menemukan
Kyuhyun yang betah menunduk, tampak memandang kosong.
"Kau juga ikut kan, Cho
Kyuhyun?" kalimat yang lagi-lagi membuat keadaan berubah hening, serempak
menatap Kyuhyun yang entah menggambar apa di mangkuk ramennya.
Hingga lelaki itu sadar
namanya dipanggil, perlahan mengangkat kepala lalu menatap bingung pada
sekeliling. Tak cukup mengerti kenapa semua orang tiba-tiba memandangnya.
"Apa?" dan
akhirnya membuka mulut yang sejak tadi ia bungkam.
Bugh!
"Yak! Jadi kau tidak
mendengarkan kami sejak tadi, hah?! Memang kau bawa kemana pikiranmu
itu!!"
Heechul memukul kepala
Kyuhyun, membuatnya meringis. Memegangi kepala saat lelaki di sampingnya memaki
dengan sakratis. Padahal Kyuhyun
tidak membawa pergi jauh-jauh pikirannya, hanya ke kursi seberang.
Memutar kenangan saat ia dan
gadis disana masih memiliki status. Kedai ramen juga, dengan tantangan makan
tercepat dan hadiah traktiran makan siang selama seminggu.
Hah. Rasanya seperti de javu.
"Kami mengadakan lomba,
siapa yang bisa menghabiskan ramen paling cepat akan ditraktir Siwon seminggu
penuh."
Leeteuk menjelaskan, lalu
menatap pada Siwon. Tapi Kyuhyun tidak melakukan hal yang sama. Menatap Choi
Siwon hanya akan membuatnya menatap gadis di samping lelaki itu.
"Aku tidak bisa."
sontak mendapat tatapan tidak percaya dari seluruh penghuni meja, yeah, termasuk satu-satunya gadis
disana.
Tak cukup sadar tentang hati
Kyuhyun yang bergemuruh, ia tidak pernah suka dipandang mata sipit itu, semenjak kejadian tiga tahun lalu. Dan kalau
sudah begini bangkit dari posisi adalah pilihan terbaik.
"Aku harus pulang.
Ibuku menelpon." menoleh singkat pada Leeteuk, lalu pergi tanpa kalimat
apapun.
Semua orang tahu Kyuhyun
akan berangkat besok, menetap di luar negeri untuk menyambung kuliah. Dan pergi
tanpa pamit seperti ini benar-benar bukan salam perpisahan yang baik.
"Cih, dasar otak
robot."
Heechul bergeming, segera
membakar semangat Shindong untuk memulai lomba yang sempat tertunda. Dan
keadaan kembali ricuh, sama sekali tidak tahu tentang sepasang mata kecil yang masih memandang pintu, tempat terakhir punggung
Kyuhyun terlihat.
Ia tidak ingat kapan pernah
melihat lelaki itu seolah hidup tanpa semangat, karena saat terakhir kali
mereka bertemu pun, mata itu masih bersinar, memancarkan kebahagiaan. Tapi
kini, langkah itu saja seolah menyuarakan ia lelaki yang putus asa, dan patah
hati.
Meski sedikit banyak masih ada beberapa hal yang tak berubah
dari lelaki itu, ketidak-lihaiannya dalam berbohong. Seperti tiga tahun lalu,
mengandalkan kata ‘umma’ jika tidak ingin terlibat atau menghindar dari suatu hal.
Dan tadi, bukankah lelaki itu lagi-lagi menghindar? Menatapnya saja tidak sudi.
"Minji-ya,
gwenchana?" kalimat bersama sentuhan tangan hangat di atas jemari kecil
Minji, membuatnya tersentak dan menoleh. Tak cukup menyangka Siwon memasang
wajah khawatir, sedang teman masa sekolah lelaki itu sudah berlomba
menghabiskan ramen.
"N-nde,
gwenchana." senyum manis saja sebenarnya tidak cukup, ia juga bukan
pembohong yang handal. Tapi lelaki semacam Siwon itu pengertian, jadi hanya
mempertahankan wajah tampan saat Minji mengeratkan genggaman.
Tak lagi berani menatap
pintu yang terbuka.
.
.
Sesuai perjanjian, Kyuhyun
pulang sebelum makan malam. Menikmati dinner
terkahirnya bersama keluarga, lalu pergi ke kamar untuk
mengemasi barang. Bukan hal yang merepotkan, ia
sudah berkemas dari jauh-jauh hari, hanya mengecek dan melengkapi yang mungkin
kurang.
Tapi Kyuhyun salah karena
membuka laci nakas paling akhir, seketika membeku saat melihat kotak kecil di
dalam tempat itu, tersimpan rapi dengan bandul pita berwarna biru muda, tak
pernah dibuka sejak pertama ia
membelinya.
"Kau sudah menemukan
yang kau cari, sayang?" itu suara umma, sengaja membantunya mengemas
barang. Terdengar mendekat membuat Kyuhyun segera menutup laci itu rapat.
"Sudah," menjawab
dengan senyum tipis, dan ketika Kyuhyun bangkit, ibunya sudah berdiri di
hadapan, tersenyum haru dan menyentuh pipinya lembut.
"Jaga kesehatanmu
disana."
Ia
tahu keputusannya menerima beasiswa terlalu mendadak, dan Jerman benar-benar di
luar ekspektasi semua orang. Kyuhyun pernah berkata ingin kuliah seni, tapi
ayahnya mendaftarkan manajemen, dan beasiswa yang diambil lelaki itu adalah
kedokteran.
Mengangguk kecil lalu
memeluk ibunya sejenak. Ia akan merindukan wanita itu, yang hampir tiga tahun
ini cukup Kyuhyun acuhkan, dan selama itu pula tidak pernah menyerah kepadanya.
"Aku akan keluar
sebentar," merasa perlu mencari udara segar untuk memperbaiki suasana
hati, dan ibunya paham hal itu.
"Kau masih membutuhkan
beberapa barang?" anggukan adalah yang membuat wanita itu tersenyum, lalu membiarkannya pergi dengan langkah
ringan.
Sebagai anak bungsu, Kyuhyun
kadang suka sok dewasa meski lebih sering kekanakan, menganggap kamar adalah
teritorial pribadi yang ia miliki, padahal ibunya
adalah yang paling tahu seluk beluk ruangan itu.
Duduk di bibir ranjang dan
meraih figura kecil yang diletakkan terbalik. Bahkan benda itu tertumpuk di
bawah weker, ck, kapan bocah itu dewasa kalau begini.
Tersenyum melihat foto
Kyuhyun bersama seorang gadis mungil, itu pacar pertama anaknya ketika masa
SMA. Dengan wajah sangat manis dan polos, tapi hangul yang ditulis Kyuhyun di
sudut foto membuat senyum itu memudar.
Kyuhyun
dan Minji, hari jadi yang ke satu minggu (7/13)
Ps:
hey, manis, cepatlah bertambah tinggi~
.
.
Yang Kyuhyun tahu, setiap
malam ia selalu menghabiskan waktu di tempat ini. Duduk di kursi berkarat yang menghadap
ke Sungai Han, lalu pulang kalau hari hampir berganti. Seperti orang bodoh,
yang bodohnya lagi ia seperti tak pernah bosan menjalani rutinitas gila itu.
Benar-benar tak peduli
musim, karena nyatanya sakit pun sudah muak menghampiri hidupnya yang
berantakan.
Dan malam ini rasanya
seperti ada yang berbeda, entah apa. Atau mungkin karena ini adalah malam
terakhir Kyuhyun mendatangi tempat itu, yang sebenarnya selalu menjadi latar di
mimpinya setiap malam.
Mungkin juga karena
seseorang sudah mengisi bangku kosongnya. Biasanya hanya ia yang menempati
dudukan besi berkarat itu. Tapi kalau dilihat dari belakang, punggung kecil itu
milik seorang gadis, yang sialnya benar-benar terekam jelas di ingatannya.
"Aku ingin kita
putus."
"Tapi, kenapa?"
Susah payah Kyuhyun meraih
lengan kecil itu, dan yang ia dapat lagi-lagi genggamannya ditepis kasar,
menciptakan rasa sakit menyebalkan yang
semakin bersarang di dada.
"Aku hanya ingin kita
putus." keras kepala, wajah manis itu bahkan kelewat datar, dan kalimat
dinginnya benar-benar menyakiti telinga.
"Jangan bercanda, aku
tidak suka kata itu, tolong hentikan."
"Ck! Kau yang
seharusnya hentikan, Cho Kyuhyun! Aku ingin putus. Aku muak denganmu, jadi
jangan halang-halangi aku!"
Kalimat yang seketika
membuat mata Kyuhyun memanas.
Ingatan jangka panjangnya masih tersimpan baik ternyata. Bahkan sampai saat ini
pun, Kyuhyun masih tidak habis pikir gadis itu bisa berucap separah itu,
sesakit ini.
Dan kalimat yang ia
teriakkan pada gadis itu dulu, di tempat ini, bahwa
ia akan menunggu gadis itu sampai mau kembali, bahwa setiap hari ia akan
menunggu di tempat ini.
Ck, bodohnya Kyuhyun. Gadis
itu kembali sekarang, lalu apa ia harus merebut lagi hati yang sudah dimiliki
orang lain? Hh, lucu sekali.
Seketika terbuyar dari
lamunan ketika gadis di bangkunya bangkit, tampak menyeka keringat di pipi lalu
melebarkan mata saat menyadari keberadaan Kyuhyun. Begitu pula ia, hanya
bedanya, jantung gadis itu tak berdetak hampir meledak begini ketika pandangan
mereka bertemu.
.
.
Sepanjang Kyuhyun hidup, ia
hanya gugup jika berhadapan dengan orang yang lebih tua, atau setidaknya
memiliki derajat lebih tinggi darinya, juga dengan orang yang ia suka. Seperti
tiga tahun lalu, kencan pertamanya dengan teman sekelas.
Tapi kegugupan itu lama-lama
menciptakan rasa nyaman, kencan berikutnya bahkan selalu berjalan lancar. Tidak
seperti ini, tidak hanya duduk dan sama-sama bungkam, tapi jantungnya berdenyut
sakit. Mengambil nafas saja rasanya sulit.
"Selamat tentang
beasiswamu." adalah yang membuat Kyuhyun tersentak meski dalam hati,
terlalu lama tak mendengar secara nyata suara itu.
"Terima kasih."
sial, kenapa kalimatnya harus bergetar, "dan selamat atas hubunganmu
dengan Choi Siwon."
Mau tidak mau Kyuhyun
mengakui, ada perasaan tidak rela saat Hyukjae menceritakan hubungan gadis itu
dengan si namja kuda, yang sialnya sudah berjalan hampir setahun, dan ia yang
tolol masih saja mempertahankan rasa yang terkubur.
"Nde.." gadis itu
tersenyum kecil, terus menunduk selain menatap air sungai di hadapan. Sama
halnya dengan Kyuhyun, enggan menatap lawan bicara.
"Kau akan kuliah di
Jerman?"
"Ya." bukan hal
yang perlu diklarifikasi lebih jauh, lagipula Kyuhyun lebih penasaran darimana
gadis itu tahu tentang beasiswanya. Tentu saja dari Siwon, ck.
"Aku akan menetap
selama dua tahun." lalu kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di rumah
sakit terkemuka, atau mungkin menerima tawaran sang ayah yang ingin
menjadikannya pewaris tahta.
Tidak akan sulit, Kyuhyun
jenius, tak ada yang tidak bisa dimengerti otak encernya. Kuliah hanya penyibuk
pikiran supaya ia tidak
memikirkan yang telah lalu.
"Semoga kuliahmu
menyenangkan." kalimat yang membuat Kyuhyun tersenyum miris. Itu doa, tapi
entah kenapa rasanya tidak akan terkabul.
Ia sudah tahu yang akan
terjadi selama dua tahun di Jerman, tak jauh membosankannya daripada Kyunghee.
Kyuhyun siswa teladan dan apatis, bahkan bukan tidak mungkin kalau profesor
disana lagi-lagi menawarkannya lulus lebih cepat.
"Yeah, semoga saja." lagipula siapa tahu wanita Jerman bisa
mengobati luka hati yang terlampau dalam.
Mood-nya
cukup buruk malam ini, sama sekali tidak menghirup udara segar seperti yang ia
inginkan. Hanya aroma menyengat masa lalu yang menusuk indra, yang lama-lama
membuatnya muak.
Ia datang untuk pamit, tidak
untuk membuka lagi lembaran menyakitkan itu.
"Kurasa aku harus
pulang sekarang." bangkit dari duduk tanpa mengeluarkan jemari dari saku
mantel, sedang gadis di sampingnya mendongak, tersenyum kecil menurut ekor mata
Kyuhyun.
"Hati-hati.. aku harap,
suatu saat kita bisa bertemu lagi."
Kembali mata Kyuhyun
memanas, bahkan suara itu saja sudah membuatnya terlihat seperti pria lemah,
menyedihkan sekali. Padahal gadis itu menginginkan pertemuan lanjutan setelah
ini, teman adalah ikatan terbaik.
Tapi Kyuhyun dan hatinya
bodoh karena menginginkan lebih dari itu.
"Hm." bermaksud
tersenyum, tapi yang tercetak malah yang menyiratkan luka. Ck, tidak seperti
gadis itu sedang mematahkan lagi hatinya di tempat ini.
Segera berlalu dengan jemari
terkepal dalam saku mantel.
.
.
Tiga tahun tanpa ke Sungai
Han benar-benar membuat tempat itu terasa asing. Apalagi tadi, baru Minji sampai seseorang tiba-tiba datang menghampirinya,
menyerahkan sekotak ayam goreng, katanya orang yang duduk disana selalu memesan
makanan itu setiap malam.
Ia tidak tahu apa yang
membuat dadanya lagi-lagi terasa sakit, selain sebelumnya sempat menangis untuk
meringankan beban di masa lalu, Kyuhyun yang tiba-tiba datang lalu pergi begini
rupanya memperburuk keadaan.
Tentu saja ia merasa
bersalah. Kenyataan tentang keputusan sepihaknya tentu
menyakiti lelaki itu terlalu dalam, dan ia tidak
menyangka Kyuhyun masih menyimpan rasa sakit itu sampai saat
ini, membuat Minji kembali dikuasai rasa tidak nyaman.
Sedikit banyak ia juga sakit
hati hari itu, bahkan semakin kesini rasa yang coba ia hapus dengan kehadiran
Siwon rasanya sia-sia, tetap saja tidak semudah menciptakannya.
Dan seharusnya Kyuhyun tidak
begini, lelaki itu kuat, ia tidak mungkin
menjadi lemah hanya karena cinta monyet. Lelaki semacam Kyuhyun itu bukan orang
yang sulit menghapus kenangan tak berarti.
"Yeobosseo,"
panggilan seseorang yang ia dapat beberapa kali hari itu. Minji sengaja tidak
menyimpan kontaknya, tapi suara lembut layaknya ibu di seberang sana selalu
membuatnya merasa tegang.
"Nde, Kyuhyun akan
segera datang." sesuai janji yang disepakati, lelaki itu tiba sekitar lima
menit lagi. Minji sengaja datang lebih awal, mempersiapkan mental.
Karena selain harus
mengatakan hal yang tidak pernah ia inginkan, ia juga harus berakting untuk
tidak mengasihani lelaki itu nanti.
Seketika menahan nafas saat
mata sipitnya menangkap Kyuhyun dari kejauhan, sedang kalimat terakhir wanita
paruh baya dalam ponselnya terdengar mengerikan.
"Yang
kau lakukan hanya harus memutuskan anakku. Jangan menemuinya lagi setelah ini,
Kyuhyun terlalu tak sederajat dengan anak pedagang kaki lima sepertimu."
Air mata itu muncul lagi
hari ini, dua kali, setelah sekian lama sejak perpisahan tidak elit mereka
waktu itu. Minji tidak tahu kenapa, tapi setiap kali mengingatnya rasanya
emosinya tidak bisa ditahan.
Perbedaan memang hal yang
paling mencolok. Kyuhyun anak pewaris perusahaan, yang gilanya malah mengaku
jatuh cinta padanya sejak masa orientasi di sekolah, padahal ia hanya anak
pedagang ramen di seberang jalan.
Tertawa kecil mengingat
lelaki itu pernah berkata ingin mendirikan rumah makan besar untuk meneruskan
usaha ayahnya, sekaligus sebagai syarat menjadi calon menantu yang baik.
Tapi nyatanya semua harus berjalan masing-masing, kan? Rasa ingin bersama saja
tidak cukup untuk keduanya tetap bertahan. Atau sebutlah Minji yang menyerah,
ia tidak ingin menghancurkan masa depan cerah lelaki jenius itu, dan seperti yang ibu Kyuhyun sampaikan,
mereka tak sederajat.
Bahkan hari itu, mereka
putus ketika seharusnya bahagia merayakan anniversary.
.
.
Kalau tadi Kyuhyun memilih
jalan kaki, maka pulang ia diantar bus. Lebih efisien, lagipula udara segar
belum ia temukan sepanjang perjalanan pergi sampai pulang.
Bahkan bus terlalu nyata
mengikat ingatannya pada gadis di bangku tua tadi, tentang mereka yang duduk
berdampingan, bercerita tentang banyak hal hingga keduanya sampai di toko
buku yang dituju, mencari referensi untuk tugas sekolah.
Gadis itu tidak cukup pintar
sebenarnya, bahkan di bawah rata-rata. Ia lebih suka makan daripada belajar,
dan ayam goreng kesukaannya yang dipesan Kyuhyun setiap hari tidak datang malam
ini. Padahal biasanya setiap Kyuhyun baru duduk, pengantar pesanan langsung
menghampirinya.
Tersenyum saat jemarinya
menemukan sesuatu di dalam saku mantel, persegi kecil yang diikat pita biru.
Dan saat bandul itu ia lepas, dua benda stainless
di dalamnya tampak bersinar, membuat senyum kembali muncul, tapi penuh luka.
Mungkin tak seharusnya
Kyuhyun nekat, bekerja patuh waktu tanpa pengetahuan orang tuanya untuk membeli
pengikat sebagai hadiah hari jadi mereka, bertulis nama pasangan masing-masing
pada setiap benda. Sehingga ketika mereka putus, rasanya mungkin tidak akan sesakit ini.
Membuang benda itu pun tidak
Kyuhyun lakukan, yang ada ia malah membawa kotak itu pulang lagi. Menyimpannya
rapi seperti tahun-tahun lalu, seperti ruang hatinya yang tetap diisi oleh
orang yang sama.
Nyatanya melupakan memang
tidak semudah kelihatannya, kan?
End
End