Rabu, 12 Juli 2017

Distance



Cast:

Cho Kyuhyun
Kang Minji
Etc

.

 Genre:

Drama
Hurt

.

Rate:

Teenage

.
.

I fleed away leaving you, through the good words that I don’t like

.
.

"Kita putus."

Singkat, tapi berhasil mengubur senyum yang mengembang pada lelaki itu. Menatap bertanya gadis manis di hadapan, merasa tak sanggup untuk sekadar berucap kenapa.

Lalu pemilik mata seindah bulan sabit berbalik, meninggalkan mantan- kekasih yang mematung di tempat. Belum cukup percaya dengan apa yang diucapkan gadisnya.

Dan setelah kesadarannya kembali, dengan cepat kaki itu melangkah, mencoba menahan. Tapi semuanya tiba-tiba menjadi putih. Tempat mereka bertemu tiba-tiba menghilang, gadis yang meninggalkannya pergi entah kemana.

"Minji!!"

Ia berteriak, keras sekali. Tapi suaranya memantul, seolah ia berada di sebuah ruang tanpa jalan keluar. Sesuatu terasa mencekat di tenggorokan, matanya memanas. Pikirannya kacau hanya untuk memikirkan keberadaan gadis itu.

"Kang Minji!!!"

Dua kata yang berputar di kepala, semakin cepat sampai rasanya menyakitkan. Kemudian matanya terbuka, merasa tubuh telentang di atas kasur dengan wajah berkeringat. Memaksa bangun ketika otak masih bekerja lambat untuk mengatakan ini nyata.

"Argh.."

Sakit di dada yang sudah seperti ucapan selamat pagi, entah sejak kapan ia mengidap penyakit kronis. Dokter bilang fisik dan mentalnya masih sehat, hanya terlalu banyak pikiran yang menjadi beban.

Alasan itu pula yang menjadi pengganggu kesehatan jantungnya. Ia merasa benda itu tak lagi berfungsi dengan baik, sejak tiga tahun lalu. Setelah mengalami hari terburuk lalu dihantui mimpi yang sama setiap malam. Mengulang kejadian yang seharusnya ia lupa, menjadi memori pahit yang malah tersimpan dengan baik.

Lalu tanpa ragu sudut bibirnya terangkat, hanya di satu sisi.

"Tujuh Juli."

Itu hari ini, tak terlihat perubahan yang signifikan. Ia masih sama, rasa itu masih seperti ketika berbunga, dan sakit itu masih seperti tujuh Juli hari itu. Hanya angka masehi yang bertambah, dan umur yang mendewasa. Yang seharusnya sudah cukup jengkel dengan kesakitan yang terus menginvasi dalam dada.

Bosan meratapi kesedihan diri, tubuhnya memilih bangkit. Menyibak bed cover dan melangkah menuju kamar mandi. Tak begitu terkejut melihat tiket pesanannya di meja nakas.

Ia hanya perlu melewati hari ini seperti biasa.
 
.
.

Tak banyak bicara adalah rutinitas yang ditampilkan Kyuhyun, melupakan tradisi makan sebagai tempat terbaik berkumpul keluarga. Bahkan melihatnya sekadar duduk di meja makan adalah keajaiban yang diamini ibunya setiap saat.

"Kau ke kampus hari ini, sayang?"

"Nde."

Menjawab dengan mulut melahap sandwich secepat yang ia bisa, Kyuhyun tak sepenuhnya berubah. Hanya menjadi irit bicara, dan wajah stoic yang terlalu menakutkan untuk sekadar ditanyai kabar.

"Pesawatmu berangkat besok kan, Kyu?" kali ini sang kakak yang bertanya, mendapat anggukan singkat dari lelaki itu. Tak begitu tertarik untuk berinteraksi.

"Aku akan pulang sebelum makan malam."

Kemudian tubuhnya bangkit, membuat dua wanita dan satu pria yang ditinggalkan hanya sanggup menghela nafas. Merasa ceria sudah tak ada lagi pada Kyuhyun mereka.

.
.

"Kyuhyun sunbae~"

Panggilan itu menarik perhatiannya, membuat Kyuhyun spontan menghentikan langkah. Melihat dengan jelas seorang wanita mendekat, yang ia sangat kenal lari bersemangat itu. Tapi tak cukup yakin, jadi hanya diam dan menunggu orang itu sampai.

"Ini.. aku memberimu surat.." tangannya malu-malu menyodorkan amplop pink, dan ingatan Kyuhyun merekam dengan jelas tingkah itu. Tapi Kyuhyun yakin ia tidak sedang berhadapan dengan siapa yang ia ingat.

"Nugu-yo?" lalu terkejut bukan main ketika wanita itu mendongak menatapnya. Wanita itu gadis di mimpi Kyuhyun setiap malam, tiga tahun berturut-turut.

"Aku.., Soojung, dari Fakultas Seni." yang membuat Kyuhyun seketika mengernyit, nama itu bukan milik orang yang kini menatapnya dengan mata sipit.

"Kyuhyun sunbae, anneyong hasseyo~" beberapa wanita berlalu menegur dan, ya ampun, kenapa semua orang berwajah sama dengan gadis di dalam mimpinya?

Bahkan wanita dengan pakaian ketat dan ahjumma penyapu halaman, memasang wajah cemberut persis seperti yang diingat Kyuhyun.

"Kyuhyun sunbae," dan wanita dengan rambut tergerai itu mengerjapkan mata sipit yang begitu dikenal Kyuhyun, membuatnya linglung. Wajah semua orang sama hari ini, atau ia yang sedang berhalusinasi?

Hap!

Sebuah tangan melingkar di pundak Kyuhyun, cukup membuat terkejut sebelum menoleh. Merasa akhirnya ada wajah selain milik gadis dalam mimpinya.

"Gomawo. Sunbaemu ini akan membacanya dengan baik."

Masih dengan tangan yang merangkul lancang pundak Kyuhyun, lelaki di sampingnya kini meraih surat dan tersenyum sampai wanita di depan mereka pergi. Kyuhyun memperhatikan perempuan itu, yang wajahnya sudah lain. Orang-orang juga sudah memiliki wajah mereka sendiri, tak lagi sama seperti yang Kyuhyun lihat sebelumnya.

"Melihatnya lagi?" dan lelaki dengan gummy di sampingnya bertanya sok tahu, seolah bukan hal mengejutkan lagi melihat Kyuhyun linglung seperti orang bodoh.

"Ck, tidak bisakah kau melupakannya? Ini sudah tiga tahun, dia pasti sudah bahagia tanpa memikirkanmu."

Kalimat yang membuat Kyuhyun menepis lengan itu kasar, tak begitu peduli saat Lee pemilik tubuh kering itu membuka surat -yang seharusnya- miliknya.

"Yaaak..!" berteriak tiba-tiba di tengah bacaan surat.

"Lihat kepopuleranmu, Kyuhyun-ah! Wanita ini mengajakmu makam malam! Ayo terima! Ajak aku juga! Aku akan tutup mulut tentang hubungan kalian!"

Berteriak antusias seolah ia yang mendapat surat. Dan apa tadi, menutup mulut? Tidak seperti Kyuhyun bernafsu untuk mengencani wanita di kampus mereka.

"Kau melihat Profesor Jung?"

Lagipula bukan tanpa tujuan Kyuhyun datang, gelar sarjana di semester enam-nya membuat Profesor enam puluh tahun itu antusias mencarikan beasiswa. Dan jadilah, Kyuhyun harus memberi salam perpisahan yang baik pada yang sudah seperti ayah kedua baginya.

"Mwoya, untuk apa kau bertemu harabeoji itu?" dan bagi Lee pemilik gummy smile, dosen yang menyerupai ayahnya adalah Appa-nya, dan yang sudah menjadi kakek adalah harabeoji-nya.

"Dia tidak akan datang, ini masih terlalu pagi untuk tubuh rentanya." lalu seketika teringat pesan singkat Lee Donghae.

"Ah! Bagaimana kalau menghadiri reuni? Ku dengar dari Donghae, Siwon yang kaya itu akan datang untuk mentraktir. Pasti-"

"Aku sibuk."

Kalimat yang meluncur bebas dari Kyuhyun, melenggang memasuki kampus tanpa peduli teriakan para wanita yang melihatnya, juga seruan Lee Hyukjae di belakang.

Sudah terlampau sering ia mengalami situasi seperti ini, hanya berharap Jerman cukup baik untuk tidak membuatnya menjadi pusat perhatian.

Ia kan bukan artis, tentu saja.
 
.
.

Awalnya Kyuhyun mengumpat pada Eunhyuk, berteriak di depan ponsel karena lelaki itu terus menelpon. Mengatakan kalau ia harus cepat-cepat ke datang untuk berkumpul dengan teman masa sekolah mereka.

Lalu kini, selain mengaduk acak ramen dan membiarkan tawa yang lain memenuhi penjuru ruang, hal yang bisa Kyuhyun lakukan hanyalah menunduk.

Tak cukup berani untuk beradu pandang dengan satu-satunya gadis di antara mereka. Di samping Choi Siwon, yang sesekali menoleh untuk sekadar melihat gadis itu tertawa.

"Yak, ayo kita lomba! Yang paling cepat menghabiskan ramen akan dapat jatah makan siang dari Choi Siwon seminggu penuh!"

Itu suara Shindong, seketika mendapat sorak antusias dari penghuni meja mereka. Tentu saja gadis disana ikut bersorak kecil, menatap senang Siwon seolah meminta lelaki itu mengikuti lomba seperti yang lain.

"Kau juga ikut, Siwon-ah!" suara Leeteuk yang meredam kebisingan, dan gadis di sampingnya mengangguk atas usulan itu.

"Mana mungkin, aku yang akan memberi kalian makan disini." dan membayangkan ia memenangkan lomba lalu mentraktir diri sendiri, rasanya sedikit aneh.

"Ah~ ayolah, oppa~ lakukan untukku~" gadis di sebelahnya memelas, tak cukup membuat Siwon sanggup menolak. Padahal, mau dikemanakan wajah tampannya jika mengiyakan lomba konyol itu.

"Minji benar, Siwon-ah. Kau menggantikannya, nanti kalau kau menang kau bisa mengajaknya makan siang setiap hari." meski tidak memenangkan lomba apapun Siwon sudah melakukan itu sejak lama, dan little puppy di sampingnya kini benar-benar membuat Siwon tidak tahan.

"Baiklah." dan mendapat sorak gembira yang berlebihan, Siwon tersenyum sebelum menemukan Kyuhyun yang betah menunduk, tampak memandang kosong.

"Kau juga ikut kan, Cho Kyuhyun?" kalimat yang lagi-lagi membuat keadaan berubah hening, serempak menatap Kyuhyun yang entah menggambar apa di mangkuk ramennya.

Hingga lelaki itu sadar namanya dipanggil, perlahan mengangkat kepala lalu menatap bingung pada sekeliling. Tak cukup mengerti kenapa semua orang tiba-tiba memandangnya.

"Apa?" dan akhirnya membuka mulut yang sejak tadi ia bungkam.

Bugh!

"Yak! Jadi kau tidak mendengarkan kami sejak tadi, hah?! Memang kau bawa kemana pikiranmu itu!!"

Heechul memukul kepala Kyuhyun, membuatnya meringis. Memegangi kepala saat lelaki di sampingnya memaki dengan sakratis. Padahal Kyuhyun tidak membawa pergi jauh-jauh pikirannya, hanya ke kursi seberang.

Memutar kenangan saat ia dan gadis disana masih memiliki status. Kedai ramen juga, dengan tantangan makan tercepat dan hadiah traktiran makan siang selama seminggu.

Hah. Rasanya seperti de javu.

"Kami mengadakan lomba, siapa yang bisa menghabiskan ramen paling cepat akan ditraktir Siwon seminggu penuh."

Leeteuk menjelaskan, lalu menatap pada Siwon. Tapi Kyuhyun tidak melakukan hal yang sama. Menatap Choi Siwon hanya akan membuatnya menatap gadis di samping lelaki itu.

"Aku tidak bisa." sontak mendapat tatapan tidak percaya dari seluruh penghuni meja, yeah, termasuk satu-satunya gadis disana.

Tak cukup sadar tentang hati Kyuhyun yang bergemuruh, ia tidak pernah suka dipandang mata sipit itu, semenjak kejadian tiga tahun lalu. Dan kalau sudah begini bangkit dari posisi adalah pilihan terbaik.

"Aku harus pulang. Ibuku menelpon." menoleh singkat pada Leeteuk, lalu pergi tanpa kalimat apapun.

Semua orang tahu Kyuhyun akan berangkat besok, menetap di luar negeri untuk menyambung kuliah. Dan pergi tanpa pamit seperti ini benar-benar bukan salam perpisahan yang baik.

"Cih, dasar otak robot."

Heechul bergeming, segera membakar semangat Shindong untuk memulai lomba yang sempat tertunda. Dan keadaan kembali ricuh, sama sekali tidak tahu tentang sepasang mata kecil yang masih memandang pintu, tempat terakhir punggung Kyuhyun terlihat.

Ia tidak ingat kapan pernah melihat lelaki itu seolah hidup tanpa semangat, karena saat terakhir kali mereka bertemu pun, mata itu masih bersinar, memancarkan kebahagiaan. Tapi kini, langkah itu saja seolah menyuarakan ia lelaki yang putus asa, dan patah hati.

Meski sedikit banyak masih ada beberapa hal yang tak berubah dari lelaki itu, ketidak-lihaiannya dalam berbohong. Seperti tiga tahun lalu, mengandalkan kata umma jika tidak ingin terlibat atau menghindar dari suatu hal. Dan tadi, bukankah lelaki itu lagi-lagi menghindar? Menatapnya saja tidak sudi.

"Minji-ya, gwenchana?" kalimat bersama sentuhan tangan hangat di atas jemari kecil Minji, membuatnya tersentak dan menoleh. Tak cukup menyangka Siwon memasang wajah khawatir, sedang teman masa sekolah lelaki itu sudah berlomba menghabiskan ramen.

"N-nde, gwenchana." senyum manis saja sebenarnya tidak cukup, ia juga bukan pembohong yang handal. Tapi lelaki semacam Siwon itu pengertian, jadi hanya mempertahankan wajah tampan saat Minji mengeratkan genggaman.

Tak lagi berani menatap pintu yang terbuka.

.
.

Sesuai perjanjian, Kyuhyun pulang sebelum makan malam. Menikmati dinner terkahirnya bersama keluarga, lalu pergi ke kamar untuk mengemasi barang. Bukan hal yang merepotkan, ia sudah berkemas dari jauh-jauh hari, hanya mengecek dan melengkapi yang mungkin kurang.

Tapi Kyuhyun salah karena membuka laci nakas paling akhir, seketika membeku saat melihat kotak kecil di dalam tempat itu, tersimpan rapi dengan bandul pita berwarna biru muda, tak pernah dibuka sejak pertama ia membelinya.

"Kau sudah menemukan yang kau cari, sayang?" itu suara umma, sengaja membantunya mengemas barang. Terdengar mendekat membuat Kyuhyun segera menutup laci itu rapat.

"Sudah," menjawab dengan senyum tipis, dan ketika Kyuhyun bangkit, ibunya sudah berdiri di hadapan, tersenyum haru dan menyentuh pipinya lembut.

"Jaga kesehatanmu disana."

Ia tahu keputusannya menerima beasiswa terlalu mendadak, dan Jerman benar-benar di luar ekspektasi semua orang. Kyuhyun pernah berkata ingin kuliah seni, tapi ayahnya mendaftarkan manajemen, dan beasiswa yang diambil lelaki itu adalah kedokteran.

Mengangguk kecil lalu memeluk ibunya sejenak. Ia akan merindukan wanita itu, yang hampir tiga tahun ini cukup Kyuhyun acuhkan, dan selama itu pula tidak pernah menyerah kepadanya.

"Aku akan keluar sebentar," merasa perlu mencari udara segar untuk memperbaiki suasana hati, dan ibunya paham hal itu.

"Kau masih membutuhkan beberapa barang?" anggukan adalah yang membuat wanita itu tersenyum, lalu membiarkannya pergi dengan langkah ringan.

Sebagai anak bungsu, Kyuhyun kadang suka sok dewasa meski lebih sering kekanakan, menganggap kamar adalah teritorial pribadi yang ia miliki, padahal ibunya adalah yang paling tahu seluk beluk ruangan itu.

Duduk di bibir ranjang dan meraih figura kecil yang diletakkan terbalik. Bahkan benda itu tertumpuk di bawah weker, ck, kapan bocah itu dewasa kalau begini.

Tersenyum melihat foto Kyuhyun bersama seorang gadis mungil, itu pacar pertama anaknya ketika masa SMA. Dengan wajah sangat manis dan polos, tapi hangul yang ditulis Kyuhyun di sudut foto membuat senyum itu memudar.
 
Kyuhyun dan Minji, hari jadi yang ke satu minggu (7/13)

Ps: hey, manis, cepatlah bertambah tinggi~

.
.

Yang Kyuhyun tahu, setiap malam ia selalu menghabiskan waktu di tempat ini. Duduk di kursi berkarat yang menghadap ke Sungai Han, lalu pulang kalau hari hampir berganti. Seperti orang bodoh, yang bodohnya lagi ia seperti tak pernah bosan menjalani rutinitas gila itu.

Benar-benar tak peduli musim, karena nyatanya sakit pun sudah muak menghampiri hidupnya yang berantakan.

Dan malam ini rasanya seperti ada yang berbeda, entah apa. Atau mungkin karena ini adalah malam terakhir Kyuhyun mendatangi tempat itu, yang sebenarnya selalu menjadi latar di mimpinya setiap malam.

Mungkin juga karena seseorang sudah mengisi bangku kosongnya. Biasanya hanya ia yang menempati dudukan besi berkarat itu. Tapi kalau dilihat dari belakang, punggung kecil itu milik seorang gadis, yang sialnya benar-benar terekam jelas di ingatannya.


"Aku ingin kita putus."

"Tapi, kenapa?"

Susah payah Kyuhyun meraih lengan kecil itu, dan yang ia dapat lagi-lagi genggamannya ditepis kasar, menciptakan rasa sakit menyebalkan yang semakin bersarang di dada.

"Aku hanya ingin kita putus." keras kepala, wajah manis itu bahkan kelewat datar, dan kalimat dinginnya benar-benar menyakiti telinga.

"Jangan bercanda, aku tidak suka kata itu, tolong hentikan."

"Ck! Kau yang seharusnya hentikan, Cho Kyuhyun! Aku ingin putus. Aku muak denganmu, jadi jangan halang-halangi aku!"
 

Kalimat yang seketika membuat mata Kyuhyun memanas. Ingatan jangka panjangnya masih tersimpan baik ternyata. Bahkan sampai saat ini pun, Kyuhyun masih tidak habis pikir gadis itu bisa berucap separah itu, sesakit ini.

Dan kalimat yang ia teriakkan pada gadis itu dulu, di tempat ini, bahwa ia akan menunggu gadis itu sampai mau kembali, bahwa setiap hari ia akan menunggu di tempat ini.

Ck, bodohnya Kyuhyun. Gadis itu kembali sekarang, lalu apa ia harus merebut lagi hati yang sudah dimiliki orang lain? Hh, lucu sekali.

Seketika terbuyar dari lamunan ketika gadis di bangkunya bangkit, tampak menyeka keringat di pipi lalu melebarkan mata saat menyadari keberadaan Kyuhyun. Begitu pula ia, hanya bedanya, jantung gadis itu tak berdetak hampir meledak begini ketika pandangan mereka bertemu.

.
.

Sepanjang Kyuhyun hidup, ia hanya gugup jika berhadapan dengan orang yang lebih tua, atau setidaknya memiliki derajat lebih tinggi darinya, juga dengan orang yang ia suka. Seperti tiga tahun lalu, kencan pertamanya dengan teman sekelas.

Tapi kegugupan itu lama-lama menciptakan rasa nyaman, kencan berikutnya bahkan selalu berjalan lancar. Tidak seperti ini, tidak hanya duduk dan sama-sama bungkam, tapi jantungnya berdenyut sakit. Mengambil nafas saja rasanya sulit.

"Selamat tentang beasiswamu." adalah yang membuat Kyuhyun tersentak meski dalam hati, terlalu lama tak mendengar secara nyata suara itu.

"Terima kasih." sial, kenapa kalimatnya harus bergetar, "dan selamat atas hubunganmu dengan Choi Siwon."

Mau tidak mau Kyuhyun mengakui, ada perasaan tidak rela saat Hyukjae menceritakan hubungan gadis itu dengan si namja kuda, yang sialnya sudah berjalan hampir setahun, dan ia yang tolol masih saja mempertahankan rasa yang terkubur.

"Nde.." gadis itu tersenyum kecil, terus menunduk selain menatap air sungai di hadapan. Sama halnya dengan Kyuhyun, enggan menatap lawan bicara.

"Kau akan kuliah di Jerman?"

"Ya." bukan hal yang perlu diklarifikasi lebih jauh, lagipula Kyuhyun lebih penasaran darimana gadis itu tahu tentang beasiswanya. Tentu saja dari Siwon, ck.

"Aku akan menetap selama dua tahun." lalu kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di rumah sakit terkemuka, atau mungkin menerima tawaran sang ayah yang ingin menjadikannya pewaris tahta.

Tidak akan sulit, Kyuhyun jenius, tak ada yang tidak bisa dimengerti otak encernya. Kuliah hanya penyibuk pikiran supaya ia tidak memikirkan yang telah lalu.

"Semoga kuliahmu menyenangkan." kalimat yang membuat Kyuhyun tersenyum miris. Itu doa, tapi entah kenapa rasanya tidak akan terkabul.

Ia sudah tahu yang akan terjadi selama dua tahun di Jerman, tak jauh membosankannya daripada Kyunghee. Kyuhyun siswa teladan dan apatis, bahkan bukan tidak mungkin kalau profesor disana lagi-lagi menawarkannya lulus lebih cepat.

"Yeah, semoga saja." lagipula siapa tahu wanita Jerman bisa mengobati luka hati yang terlampau dalam.

Mood-nya cukup buruk malam ini, sama sekali tidak menghirup udara segar seperti yang ia inginkan. Hanya aroma menyengat masa lalu yang menusuk indra, yang lama-lama membuatnya muak.

Ia datang untuk pamit, tidak untuk membuka lagi lembaran menyakitkan itu.

"Kurasa aku harus pulang sekarang." bangkit dari duduk tanpa mengeluarkan jemari dari saku mantel, sedang gadis di sampingnya mendongak, tersenyum kecil menurut ekor mata Kyuhyun.

"Hati-hati.. aku harap, suatu saat kita bisa bertemu lagi."

Kembali mata Kyuhyun memanas, bahkan suara itu saja sudah membuatnya terlihat seperti pria lemah, menyedihkan sekali. Padahal gadis itu menginginkan pertemuan lanjutan setelah ini, teman adalah ikatan terbaik.

Tapi Kyuhyun dan hatinya bodoh karena menginginkan lebih dari itu.

"Hm." bermaksud tersenyum, tapi yang tercetak malah yang menyiratkan luka. Ck, tidak seperti gadis itu sedang mematahkan lagi hatinya di tempat ini.

Segera berlalu dengan jemari terkepal dalam saku mantel.

.
.

Tiga tahun tanpa ke Sungai Han benar-benar membuat tempat itu terasa asing. Apalagi tadi, baru Minji sampai seseorang tiba-tiba datang menghampirinya, menyerahkan sekotak ayam goreng, katanya orang yang duduk disana selalu memesan makanan itu setiap malam.

Ia tidak tahu apa yang membuat dadanya lagi-lagi terasa sakit, selain sebelumnya sempat menangis untuk meringankan beban di masa lalu, Kyuhyun yang tiba-tiba datang lalu pergi begini rupanya memperburuk keadaan.

Tentu saja ia merasa bersalah. Kenyataan tentang keputusan sepihaknya tentu menyakiti lelaki itu terlalu dalam, dan ia tidak menyangka Kyuhyun masih menyimpan rasa sakit itu sampai saat ini, membuat Minji kembali dikuasai rasa tidak nyaman.

Sedikit banyak ia juga sakit hati hari itu, bahkan semakin kesini rasa yang coba ia hapus dengan kehadiran Siwon rasanya sia-sia, tetap saja tidak semudah menciptakannya.

Dan seharusnya Kyuhyun tidak begini, lelaki itu kuat, ia tidak mungkin menjadi lemah hanya karena cinta monyet. Lelaki semacam Kyuhyun itu bukan orang yang sulit menghapus kenangan tak berarti.
 

"Yeobosseo," panggilan seseorang yang ia dapat beberapa kali hari itu. Minji sengaja tidak menyimpan kontaknya, tapi suara lembut layaknya ibu di seberang sana selalu membuatnya merasa tegang.

"Nde, Kyuhyun akan segera datang." sesuai janji yang disepakati, lelaki itu tiba sekitar lima menit lagi. Minji sengaja datang lebih awal, mempersiapkan mental.

Karena selain harus mengatakan hal yang tidak pernah ia inginkan, ia juga harus berakting untuk tidak mengasihani lelaki itu nanti.

Seketika menahan nafas saat mata sipitnya menangkap Kyuhyun dari kejauhan, sedang kalimat terakhir wanita paruh baya dalam ponselnya terdengar mengerikan.

"Yang kau lakukan hanya harus memutuskan anakku. Jangan menemuinya lagi setelah ini, Kyuhyun terlalu tak sederajat dengan anak pedagang kaki lima sepertimu."


Air mata itu muncul lagi hari ini, dua kali, setelah sekian lama sejak perpisahan tidak elit mereka waktu itu. Minji tidak tahu kenapa, tapi setiap kali mengingatnya rasanya emosinya tidak bisa ditahan.

Perbedaan memang hal yang paling mencolok. Kyuhyun anak pewaris perusahaan, yang gilanya malah mengaku jatuh cinta padanya sejak masa orientasi di sekolah, padahal ia hanya anak pedagang ramen di seberang jalan.

Tertawa kecil mengingat lelaki itu pernah berkata ingin mendirikan rumah makan besar untuk meneruskan usaha ayahnya, sekaligus sebagai syarat menjadi calon menantu yang baik.

Tapi nyatanya semua harus berjalan masing-masing, kan? Rasa ingin bersama saja tidak cukup untuk keduanya tetap bertahan. Atau sebutlah Minji yang menyerah, ia tidak ingin menghancurkan masa depan cerah lelaki jenius itu, dan seperti yang ibu Kyuhyun sampaikan, mereka tak sederajat.

Bahkan hari itu, mereka putus ketika seharusnya bahagia merayakan anniversary.

.
.

Kalau tadi Kyuhyun memilih jalan kaki, maka pulang ia diantar bus. Lebih efisien, lagipula udara segar belum ia temukan sepanjang perjalanan pergi sampai pulang.

Bahkan bus terlalu nyata mengikat ingatannya pada gadis di bangku tua tadi, tentang mereka yang duduk berdampingan, bercerita tentang banyak hal hingga keduanya sampai di toko buku yang dituju, mencari referensi untuk tugas sekolah.

Gadis itu tidak cukup pintar sebenarnya, bahkan di bawah rata-rata. Ia lebih suka makan daripada belajar, dan ayam goreng kesukaannya yang dipesan Kyuhyun setiap hari tidak datang malam ini. Padahal biasanya setiap Kyuhyun baru duduk, pengantar pesanan langsung menghampirinya.

Tersenyum saat jemarinya menemukan sesuatu di dalam saku mantel, persegi kecil yang diikat pita biru. Dan saat bandul itu ia lepas, dua benda stainless di dalamnya tampak bersinar, membuat senyum kembali muncul, tapi penuh luka.

Mungkin tak seharusnya Kyuhyun nekat, bekerja patuh waktu tanpa pengetahuan orang tuanya untuk membeli pengikat sebagai hadiah hari jadi mereka, bertulis nama pasangan masing-masing pada setiap benda. Sehingga ketika mereka putus, rasanya mungkin tidak akan sesakit ini.

Membuang benda itu pun tidak Kyuhyun lakukan, yang ada ia malah membawa kotak itu pulang lagi. Menyimpannya rapi seperti tahun-tahun lalu, seperti ruang hatinya yang tetap diisi oleh orang yang sama.

Nyatanya melupakan memang tidak semudah kelihatannya, kan?

End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar